HUKUM PIDANA
Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem,
undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah
menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:[1]
Misalnya Indonesia
dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh
masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita
telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan
asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan
Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern
dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil.
Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law”
dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut
dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan dengan dosen-dosen di
Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM)[2]
menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang (RUU) yang sedang dibahas
dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada
tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan. Menurut M.
Lubis:[3]
“’The new draft
laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa
Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan lagi pula disesuaikan
dengan Pancasila.”
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik
terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana
dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum
dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah
diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat
disepakati apalagi disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan
undang-undang yang berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum
untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus
dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya
hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat
diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang
kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:[4]
Barangsiapa dengan
sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena
bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[5]
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah
persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak
hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur;
sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:
“Dalam hal
penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum”.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy Koesnomo dari
Kejaksaan Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat[6]
dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk
berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk
menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas
lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP
tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu.
Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya
pada tingkat kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan
menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau
dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat
diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti
untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk
kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan
pengadilan.
Acara Persidangan Pidana
Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri
proses persidangannya adalah sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan
oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara.[7]
Kejaksaan bertanggungjawab untuk meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada
saat persidangan akan dimulai. Maka kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait
dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga Permasyarakatan (penjara) ke
pengadilan, dan sebaliknya pada saat persidangan selesai. Di Pengadilan Negeri
diadakan beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan tahanan sebelum dan
sesudah perkaranya disidang.
Surat dakwaan yang menyatakan tuntutan-tuntutan dari kejaksaan
terhadap terdakwa dibaca oleh jaksa. Pada saat itu terdakwa didudukkan di
bagian tengah ruang persidangan berhadapan dengan hakim. Kedua belah pihak,
yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan Penasehat Hukum (pengacara pembela) duduk
berhadapan di sisi kanan dan kiri. Setelah dakwaan dibaca, barulah mulai tahap
pemeriksaan saksi. Terdakwa berpindah dari posisinya di tengah ruangan dan
duduk di sebelah penasehat hukumnya, jika memang dia mempunyai penasehat hukum.
Jika tidak ada, dialah yang menduduki kursi penasehat hukum itu.
Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada saksi dan berapa
saksi yang akan dipanggil dalam sidang hari itu.[8]
Jika, misalnya ada tiga saksi yang akan dipanggil, mereka bertiga dipanggil
oleh jaksa dan duduk di bangku atau kursi berhadapan dengan hakim; kursi yang
sama tadi diduduki oleh terdakwa. Kemudian hakim akan menyampaikan beberapa pertanyaan
kepada saksi masing masing. Yaitu adalah; nama, tempat kelahiran, umur, bangsa,
agama, pekerjaan dan apakah mereka ada hubungan dengan si terdakwa. Kemudian si
saksi sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan kata pengantar sesuai dengan
agamanya, kemudian kata-kata berikut:
“Demi Tuhan saya
bersumpah sebagai saksi saya akan menerangkan dalam perkara ini yang benar dan
tidak lain daripada yang sebenarnya.”
Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat
sebuah Al Quoran atau Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas
kepalanya. Menarik juga bahwa orang Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil
bersumpah.
Salah satu perbedaan terkait dengan hal ini adalah, semua saksi
bersumpah pada saat bersamaan, sedangkan di Australia setiap saksi akan
bersumpah justru sebelum dia akan memberikan keterangan.
Setelah saksinya bersumpah, maka saksi pertama duduk di bangku di
depan hakim, sedangkan yang lain disuruh untuk keluar dari ruang persidangan.
Itulah saatnya pemeriksaan saksi dimulai oleh Ketua Hakim. Ini juga merupakan
salah satu perbedaan besar di antara sistem persidangan di Australian dan RI.
Di Australia peranan hakim dapat disebut pasif. Padahal hakim di persidangan di
Australia agak jarang akan bertanya langsung kepada saksi. Sebaliknya di RI
peranan hakim adalah sangat aktif. Dialah yang mulai dengan pertanyaannya
terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan proses interogasinya sehingga dia
puas dan pertanyaanya habis-habisan.[9]
Setelah hakim selesai dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada
jaksa untuk memeriksa saksi, disusul oleh penasehat hukum.
Pada akhir pemberian keterangan dari saksi masing masing, si
terdakwa akan diberikan kesempatan untuk menanggapi keterangan tersebut. Dalam
perkara yang ditonton oleh penulis, Hakim akan menyimpulkan keterangan yang
telah diberikan dengan mengatakan misalnya:
“Kita semua telah
mendengar saksi mengatakan bahwa pada tanggal 23 November kemarin dia membeli
narkotika dari anda dalam bentuk dua ‘pocket’ ganja di rumah anda dan anda
menerima uang sebanyak Rp40,000. Bagaimana anda menganggap keterangan itu?
Benar atau tidak benar, setuju atau tidak setuju?”
Kemudian terdakwa diperbolehkan untuk menyampaikan tanggapannya
terhadap keterangan tersebut. Setelah itu, saksi diminta untuk turun dari
kursinya dan duduk di bagian umum di belakang.
Proses ini berlanjut sehingga semua saksi dari kejaksaan telah
memberikan keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga diberi kesempatan untuk
memanggil saksi yang mendukung atau membela terdakwa, dengan proses yang sama
sebagaimana digambarkan di atas. Setelah semua saksi memberikan keterangan,
tahap pemeriksaan saksi selesai dan perkara akan ditunda supaya jaksa dapat
mempersiapkan tuntutannya. Tuntutan adalah sebuah rekomendasi dari jaksa
mengenai sanksi yang dimintai dari hakim. “Setelah itu giliran terdakwa atau
penasehat hukumnya membacakan pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut
umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran
terakhir.”
Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus mengambil
keputusan. Keputusannya dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari lain,
setelah dilakukan musyawarah terakhir diantara para hakim. Jika dalam
musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai kesepakatan, keputusan
dapat diambil dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu diharuskan
jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan para
hakim ada tiga alternatif:
1.
Perkara terbukti – terdakwa
dihukum
2.
Perkara tidak terbukti –
terdakwa dibebaskan
3.
Perbuatan terbukti tetapi tidak
perbuatan pidana – terdakwa dilepas dari segala tuntutan (Onslag).
Berdasarkan teori pembuktian undang undang secara negatif, keputusan
para hakim dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta
dua dari lima alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Lima kategori alat bukti tersebut adalah:
a.
keterangan saksi
b.
keterangan ahli
c.
surat
d.
petunjuk
e.
keterangan terdakwa
Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus menentukan
soal sanksinya, berdasarkan tuntutan dari jaksa dan anggapannya sendiri
terhadap terdakwa. Tergantung pendapatnya, hakim dapat menjatuhkan pidana yang
lebih ringan ataupun lebih berat daripada tuntutan jaksa.
“Hakim harus
menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam perkara pencurian, perbuatannya
mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak melakukannya
untuk berfoya-foya, melainkan untuk anaknya yang sakit. Kalau begitu, dapat dia
ringankan tuntutan dari Jaksa, misalnya dari sepuluh bulan, menjadi delapan
bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi tuntutan dari jaksa...semuanya tergantung
perbedaan persepsi.”
Demikianlah prosesnya hukum acara pidana secara garis besar sehingga
terdakwa dibuktikan bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia terbukti
bersalah, apalagi dijatuhkan hukuman penjara maka ia akan dibawa ke Lembaga
Permasyarakatan untuk menjalani hukumannya.
Proses Pelaksanaan Sanksi
Pidana
Setelah melakukan kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan (Lapas) di
Mataram penulis dapat melihat secara langsung keberadaan para napi di dalam
penjara Indonesia, suatu pengalaman yang sangat menarik. Ketika diwawancarai
oleh penulis Kepala Lembaga Permasyarakatan (Kalapas) Purwadi menegaskan bahwa
orang orang yang ditahan dalam Lapas dipisah dalam dua kategori yaitu:
1.
Tahanan – dimana perkaranya
masih berlanjut pada tahap persidangan dan belum ada keputusan dari hakim
2.
Narapidana (Napi) – terpidana
yang sudah dijatuhkan keputusan dan hukuman penjara oleh pengadilan
Purwadi menerangkan bahwa di Lapas Mataram pada saat diwawancarai
ada 571 orang dalam penahanan. Sebagai berikut:
Pria Wanita Total
Tahanan 238 17 225
Narapidana 296 20 316
Total 534 37 571
Narapidana pria yang ditahan di Lapas Mataram kemudian dipisahkan
dua kategori lain berdasarkan kriminalitasnya; yaitu narapidana yang dihukum
untuk kejahatan narkotika, dan yang lain misalnya pencurian, lalu lintas,
penipuan, pembunuhan, ‘togel’ (‘toto gelap’, judi) dan sebagainya. Purwadi
mengatakan bahwa ini merupakan salah satu upaya untuk “memotong jaringannya”
penjahat narkotika, yang diduga akan mendorong napi lain untuk mencoba
narkotika dan oleh sebab itu memperluas jaringannya. Kalapas tersebut juga
menegaskan bahwa penjahat narkoba merupakan 35% dari jumlah narapidana
laki-laki. Penulis dapat melihat secara langsung bahwa penjahat narkotika
tersebut ditahan dalam lima buah kamar dengan jumlah orang sehingga lebih dari
30 orang per kamar, apalagi kamar mandi dan WC terletak di dalam kamar
tersebut. Untuk tempat tidurnya, narapidana dapat memakai sebuah tikar yang
terbentang di atas lantai yang terbuat dari beton.
Salah satu petugas, Kusnan, menjelaskan bahwa setiap kamar ada wali;
salah satu petugas yang bertanggung jawab atas kamar tersebut. Wali tersebut
ditugaskan untuk mendengar keluhan keluhan dari narapidana, menetapkan aturan
tata-tertib di dalam kamar dan mengurus semua hal terkait dengan jangka
penahanan untuk narapidana masing masing, baik cuti bersyarat, pelepasan
bersyarat maupun remisi.
Petugas Lapas menerangkan bahwa setiap hari para narapidana dapat
keluar dari kamar untuk dua jam di sore hari untuk berolahraga di halaman
tengah. Kemudian untuk para narapidana setiap Selasa, Kamis dan Minggu, ada jam
kunjungan untuk keluarga dari jam 09:00 s/d 13:30. Keluarga para narapidana
dapat memberikan makanan dan barang barang lain misalnya kue kue, sikat gigi
dan lain lainnya, setelah diperiksa di ruang geledah.
Purwadi menegaskan bahwa Lapas Mataram sebetulnya dirancang untuk
menahan 350 orang, akan tetapi pada saat kunjungan ada hampir 600 orang yang
ditahan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Lapas Mataram sedang “over
capacity” (melebihi kapasitasnya). Kalapas juga mengatakan bahwa
fasilitas-fasilitas di lapas sangat terbatas maka program-program pembinaan
ataupun rehabilitasi berkurang. Walaupun begitu, Lapas Mataram dilengkapi
dengan suatu bengkel dimana para narapidana dapat bekerja, misalnya memperbaiki
atau mencuci baik sepeda motor maupun mobil.
PENUTUP
Kesimpulan
Secara garis besar, proses peradilan antara Australia
dan Republik Indonesia agak mirip. Ada Lembaga Penyidikan (Kepolisian) yang
bertanggungjawab mendeteksi dan menyelidiki kejahatan, kemudian ada Lembaga
Penuntutan (di Australia sejajar dengan “Department of Public Prosecutions”)
yang bertanggungjawab atas memeriksa berkas-berkas yang diajukan dari Lembaga
Penyidikan sebelum perkaranya dapat dilimpahkan ke pengadilan. Ada juga Lembaga
Pemutus Perkara, atau pengadilan yang bertanggungjawab memutuskan bersalah
tidaknya seorang terdakwa. Meskipun demikian ada pula cukup banyak perbedaan
dalam rincian teknis pada setiap tahap dari proses peradilan di dua negara
tersebut. Penulis berharap bahwa laporan ini berhasil untuk menggambarkan dan
menjelaskan beberapa perbedaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi
Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional,
Surabaya 1981)
Drs. P.A.F Lamintang, S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (PT
Citra Aditya Bakti, Bandung 1997)
Lalu Parman SH. MH. Staf Pengajar
Fakultas Hukum UNRAM, 27 Januari 2009
M. Lubis, SH. M.Hum Staf Pengajar
Fakultas Hukum UNRAM 27 Januari 2009
Suryanto SH. M.Hum Ketua
Pengadilan, Pengadilan Negeri 1A Mataram 28 Januari 2009
Mion Ginting SH. MH. Hakim
Pengadilan Negeri 1A Mataram 30 Januari 2009
Dedy Koesnomo SH. MH. Kepala Bagian
Tata Usaha Kejaksaan Tinggi NTB 5 Februari 2009
Purwadi Kepala Lembaga Permasyarakatan
(Kalapas) Lembaga
[1] Prof. Dr.
jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana
Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008) Hal 33
[2] Wawancara terpisah dengan Dosen-dosen Fakultas Hukum UNRAM: Lalu
Parman dan M. Lubis, SH.,M.Hum pada tanggal 27 Januari 2009.
[3] Ibid.
[4] R. Sugandhi, SH, KUHP dan
Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981) Hal 357
[8] Dari observasi penulis di Pengadilan Negeri Mataram dapat dikatakan
bahwa dalam kasus yang lebih berat, atau rumit bisa terjadi banyak saksi yang
dipanggil sehingga suatu perkara akan berlanjut pada beberapa hari. Beda dari
proses di Australia, sering terjadi persidangan terpisah tersebut tidak
dipersidangkan pada hari-hari berurutan, tetapi beberapa saksi pada hari
tertentu kemudian perkaranya ditunda selama beberapa hari sebelum mulai lagi.
Biasanya di Australia kalau bisa persidangan dilanjutkan pada hari berikutnya.
[9] Di salah satu kasus korupsi dimana terdakwa adalah mantan Gubernur
NTB proses interogasi ini dari pihak hakim (tiga hakim – Ketua Majelis
didampingi oleh dua Anggota Hakim) berlanjut selama lebih dari tiga jam untuk
satu saksi. Barulah setelah itu pihak jaksa ataupun penasehat hukum diberikan
kesempatan untuk memeriksa saksinya.